Header Ads

Header ADS

Realitas "Dongeng Tukang Celep"


Di Tatar Sunda, Nama Kang Ibing sangat melegenda. Pun dengan cerita dan lawakannya, Termasuk lawakan Kang Ibing yang sangat sesuai dengan keadan hukum sekarang, yaitu “TUKANG CELEP” atau “TUKANG PEWARNA KAIN”

Ringkasnya, dongeng tersebut menceritakan seorang Maling yang mati akibat terjatuh dari jendela rumah yang dijadikan sasaran maling. Kemudian pihak keluarga si Maling menuntut yang punya rumah agar dihukum.
Ketika di pengadilan, pemilik rumah menuduh tukang kayu, tukang kayu menuduh gadis tetangganya, si gadis menuduh tukang pewarna kain. Karena tukang pewarna kain bertubuh tinggi, maka tukang pewarna kain berpostur tubuh pendeklah yang harus berakhir di tiang gantungan dengan alasan tubuhnya pendek.

Cerita lengkapnya bisa dicari dengan keyword Dongeng Kang Ibing Tukang Celep.

Negeri kita, dari sejak dulu jarang sekali ada kejadian seperti kisah di atas. Namun sekarang, kisah tersebut nyata adanya. Siapa yang salah, siapa yang dihukum.

Buni Yani, penyebar video Ahok dihukum !
Dewi Handayani, perekam video kristenisasi pada gempa Lombok diperiksa polisi !
Uus Sukmana, Pembawa Bendera Tauhid ditangkap aparat !

Kalau tidak disebarkan Buni Yani, maka tidak aka nada aksi 212 yang menyebabkan Ahok dihukum. Maka yang salah adalah Buni Yani.
Kalau Dewi Handayani tidak merekam dan menyebarkan video kristenisasi di Lombok, maka umat islam tidak akan tahu.
Kalaulah Uus Sukmana tidak membawa Bendera Tauhid, maka Banser tidak akan membakarnya.

Dari Kejadian tersebut, ada proses hukum yang tidak rasional.
Ketika Buni Yani menyebarkan berita penistaan agama yang dilakukan Ahok di media, mengapa hanya sampai Buni Yani saja yang di hukum, tidak sekalian dengan pemilik media.

Ahok pidato → videonya disebar Buni Yani → Buni Yani dihukum.
Kristenisasi di Lombok → videonya disebar Dewi Handayani → Dewi Handayani Diperiksa

Analisisnya adalah media pengunggahan video tersebut tidak tersentuh, misalkan facebook dan whatsapp dan media lain. Kalau mau di usut tuntas, harusnya pemilik fb dan WA juga harus dihukum, karena kalau tidak ada media tersebut, tidak mungkin video Ahok akan tersebar. Begitupun dengan kasus Dewi Handayani, maka pemilik hp pun harus kena hukuman, karena menciptakan alat untuk merekam.

Yang lebih unik tetapi janggal atau entah apa disebutnya, adalah kasus pembakaran bendera Tauhid yang disinyalir bendera HTI yang terjadi pada peringatan Hari Santri Nasional di Garut.

Pembawa bendera Tauhid, Uus Sukmana dijerat Pasal 174 KUHP berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja mengganggu rapat umum yang tidak terlarang dengan mengadakan huru-hara atau membuat gaduh, dihukum selama-lamanya tiga minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900” (news.detik.com)

Pihak aparat mengatakan: pembakaran disebut tidak terjadi jika Uus Sukmana Tidak datang ke Hari Santri Nasional di Garut dan pelaku pembakaran ditetapkan sebagai saksi. (news.detik.com)

Peringatan Hari Santri Nasional → Uus membawa bendera Tauhid → Bendera dibakar Banser

Kalaulah pendapat aparat kepolisian yang mengatakan bahwa pembakaran disebut tidak terjadi jika Uus Sukmana Tidak datang ke Hari Santri Nasional, mengapa pembuat bendera, penjual, bahkan lebih jauh lagi orang yang menetapkan Hari Santri Nasional, tidak diproses secara hukum juga ?

Dalam pandangan saya, ini merupakan sebuah proses hukum yang tidak rasional. Mengapa demikian ?

Kata (logika) aparat kepolisian :
“Pembakaran tidak akan terjadi jika Uus Sukmana Tidak datang ke Hari Santri Nasional”
Dan logikanya :
“Uus tidak akan datang membawa bendera Tauhid kalau tidak ada Hari Santri Nasional”

Jadi siapa yang harus diproses hukum, Uus Sukmana atau orang yang menetapkan Hari Santri Nasional ??

Silakan jawab sendiri.

No comments

Powered by Blogger.