Header Ads

Header ADS

Setetes Warisan Cerita: Ustadz, Ini orang gila

Elaborasi alur oleh: Tuan Andanu
Selasa, 13 November 2018.

*
"Ayah berangkat dakwah dulu ya bu. Assalamu'alaikum..."

Wa'alaikum salam, ayah...

*
Kedua kalimat sapaan do'a itu mengalir dari hati. Ada senyum pengiring, disusul kecupan kening, dan diantar lambaian jemari kemesraan.

Maklum, ustadz Asma belum genap satu minggu berdampingan secara sah dengan gadis Muslimah pilihannya. Sesosok calon ibu untuk anak-anaknya kelak. Ia melibatkan hati nuraninya saat menjatuhkan pilihan pendamping. Di samping cantik dan sholeh, ikatan keduanya mendapat payung restu kedua keluarga besarnya. Kata pak RT, keduanya simbol dari harmonisasi takdir pertikahan; Bak bulan berjumpa bintang gumintang.

"Pengantin baru yang teduh bercemara syahdu," Ujar pak RT dirayu keterpesonaan.

Hari itu, tepat pukul 10 pagi, sang ustadz muda beranjak penuh semangat dari rumah sederhananya. Sesekali ia menoleh ke belakang, dan selalu saja sebentuk wajah manis istrinya yang merah jambu enggan berhenti mengirimkan senyum, seterusnya disusul lambaian tangan kanannya nun putih bersih. Seolah, ada kalimat yang hendak bersenandung sangat dalam: "ayah, hati-hati di jalan ya. Lekas pulang, ayah. Ibu  menunggu di sini..."

Perjalanan pun menggelitikkan rayuan genit imajinasi. Ia melangkah dengan derap bergairah. Jalannya elegan bak perwira muda nun tegap. Mengagumkan. Bibirnya berkali-kali menebarkan benih senyum kepada ilalang, daun jambu, dan sekumpulan rumputan hijau pinggir jalan.

Menuju masjid yang ditujunya, Ustadz Asma menaiki mobil angkot berwarna kuning keemasan; Perlambang sempurna kebahagiaan.

Ia riang tidak kepalang. Dalam bayangannya sekarang, alam adalah taman bunga dengan ia sebagai satu-satunya kumbang. Menikmati hamparan warna-warni yang sedapkan pandangan. Terbayang kupu-kupu beterbangan, hembusan angin penenang. Ia, melayang bak disinggahi damai-damai yang bertamu seharian panjang.

Jarak rumah utadz Asma ke tempat pengajian, kurang lebih 5 km. Bila diukur materi, dengan berkendara angkutan umum, uang 10.000 cukup untuk ongkos pulang pergi. Lima ribu ongkos mobil, 5.000 lagi 3 batang rokok, dan 5 ribu sisa buat ongkos pulang.

Belum lagi ada bayangan lain yang ikut menari di alam kayangan ustadz Asma. Ia sudah biasa menerka beberapa kilas pikiran baik bahwa telah disiapkan rizqi pasti di balik amplop yang biasa ia dapat selepas menyampaikan materi ke-Islaman. Perdana. Ia dapat menghibahkan buah kajiannya pada tangan lembut istrinya. 

Berdampingan dalam berjuang, saling menguatkan langkah, silih tukar do'a dan harapan, hidup menjadi lebih berkemaknaan. Itulah yang didapatnya dari perjalanan anyar yang baru ia masuki seminggu lalu. Bila Muhammad Saw. menyampaikan nikah sebagai setengah ibadah, maka menjaga pertikahan sampai memasuki taman samawa merupakan kesempurnaan agama.

Dari angkot ia turun di warung pertigaan jalan. Menyela sejenak sembari menikmati sebatang rokok yang ia beli eceran. Lalu, ustadz Asma yang berjas hitam, dengan sepatu pantofel yang (juga) hitam berkilau itu berjalan sangat elegan, gagah dan rapih. Salam sapa silih berganti bersahutan.

Ia berjalan kaki sekira 300 meter. Setiap berpapasan  dengan orang-orang, tubuhnya merunduk penuh hormat. Assalamualaikum... Begitu damai. Sapaan yang berkalung do'a.

Anehnya, setelah jarak dengan lokasi sudah sangat dekat, tampilan kerapihan terbaiknya itu, justru tidak mendapati penghormatan dari sekelompok anak kecil yang tengah bermain kelereng. Di pinggir jalan tiba-tiba mereka berdiri sembari melemparkan ejekan, ""Eh lihat ada orang gila..." Ucap salah satunya. Sontak yang lain pun mengikutinya bak mengarak orang gila beneran. 

Orang gila.. Orang gila.. Orang gila...

Ustadz Asma kebingungan. Dalam hati ia dongkol dan marah. Tapi kalau memaki balik mereka, ah masa iya seorang ustadz menghardik anak-anak. Dengan bijak, ia pun melanjutkan kembali sisa perjalanannya. Subhaanallah teladan.

Ustadz Asma di siang itu mendapat jadwal untuk memberikan materi keislaman di khutbah jum'at, berkisaran soal penyucian jiwa. Materi pilihannya di jum'at ketiga bulan syawal itu secara mendalam menguak tentang ikhlas.

Ulung. Hebat. Mengagumkan. Bikin Takjub. Gaya penyampaiannya, bobot isinya, analogi-analoginya, perfect! Mustami' antusias luar biasa.

Setelah selesai ia menyampaikan materi jum'at, mengimami shalat, jema'ahnya menyalami beliau dengan takdzim. Selepas itu, para jema'ah berpamitan pulang satu persatu.

"Asaalamu'alaikum, ustadz..."

*
Siang itu, ustadz Asma kebingungan. Pikirannya menerka-nerka. "Lho kok belum ada yang ngasih amplop?"

Ia menahan diri beberapa saat di dalam masjid. Tapi sialnya tidak jua ada yang kunjung datang. Ia pun pelan-pelan ke luar masjid. Menoleh kanan kiri, dengan segunduk harapan. Tapi sayang, sudah tidak ada orang sama sekali.

Harapannya masih ia rawat. Pikiran Ustadz Asma masih dijaga dengan baik, husnudzan, bahasa agamanya.

Jalannya dipelankan, sangat pelan sekali. Ia tetap kuatkan harapannya bahwa akan ada jema'ah yang menyusul untuk memberikan hak amplopnya. Karena bagaimana pun, ia dan istrinya yang baru merakit bahtera rumah tangga, wallahi sangat butuh dengan isi di amplop itu. Tetapi jalan setapak sudah hampir di penghujung, tak kunjung satu pun orang datang menyusul. Raut wajahnya mulai berubah. Hatinya berganti warna. Pikirannya pun jadi berjelek sangka.

Taman bunga yang semula dibayangannya begitu indah tetiba menghitam. Langit cerah pun sekilat gelap; Jadilah Lisan bergetaran penuh umpatan.

Astagfirullah...
Ia belum beres menghadapi ujian, di jalan paling ujung, anak-anak kecil yang semula dekat masjid itu sudah menunggu di sana. Mereka lebih antusias dari sekian banyak mustami' di jum'atannya. Mereka langsung berdiri, lalu mengerumuni ustadz Asma dengan ocehan ringkih yang mengganggu.

"Hei lihat, ini orang gilanya telah pulang dari mimbar." Seru anak kecil yang paling berani.

"Orang gila... orang gila... orang gila..."

Ia diarak anak-anak kampung. Entah darimana datangnya anak-anak itu. Tapi isyarat langit dari arak-arakannya, pasti mengandung makna mendalam. Sangat penting direnungkan.

Harr!!! Ikhlas di mimbar mustami', gerutu caci saat diuji nyali. Itu lebih gila lagi! Kata-kata ini pun sampai di telinga ustadz Asma. Tapi entah suara siapa.

Ustadz Asma pun kian bimbang, gelisah. Tanpa sadar kedua tangannya ikut bertepuk.

"Orang gila... orang gila... orang gila..."

*
Dicatat di jalan raya utama, dalam kondisi hari masih dini.

No comments

Powered by Blogger.