Header Ads

Header ADS

Budaya Ilmu vs Budaya Nafsu

Oleh: Tuan Laki
Desember 2018

Nampaknya sudah betapa sering disampaikan, bahwa ilmu memiliki peran yang sangat besar dalam kelangsungan hidup manusia. Diterangkan dalam sebuah riwayat yang sering kita dengar pula, bahwasanya “Siapa yang menghendaki dunia, hendaklah dia berilmu. Juga siapa yang menghendaki akhirat, maka hendaklah dia berilmu”. Kemenangan di dunia, bisa di raih dengan ilmu. Juga kemenangan di akhirat, dapat diperoleh pula dengan ilmu. Tetapi, seringnya pesan ini disampaikan secara berulang-ulang, tidak menjamin bagi tumbuhnya kegiatan dan aktifitas keilmuan yang subur di tengah-tengah kita.

Kehidupan pada masa kenabian, telah menunjukan kepada kita, tentang bagaimana bekas daripada ilmu yang nampak jelas terlihat mata dan sangat terasa oleh jiwa. Peradaban yang tinggi telah dibangun dengan dasar-dasar tradisi keilmuan. Ilmu yang hidup pada waktu itu sungguh telah memberikan ruh bagi tegaknya kehidupan yang Islami.

Terbayang betapa asyiknya generasi para sahabat yang hidup sezaman dengan Rasulullah, dalam menggauli ilmu. Kegiatan dan aktifitas keilmuan menjadi suatu yang sangat disukai dan dicintai. Terbayang pula bagaimana mereka bersegera dan bergerombol ketika hendak menghadiri majlis ilmu. Generasi tersebut merasakan kehampaan dan kejenuhan ketika tidak mereka dapati sehari tanpa asupan keilmuan. Jiwanya telah diresapi ketergantungan dan kecintaan terhadap ilmu. Semua kecenderungan ini, terbangunlah suatu budaya ilmiah, dan dengan kebudayaan inilah mereka mampu membawa kehidupan kepada segala kebaikan.

Kehidupan kita saat ini, khususnya kalangan muda, sebagaimana terlihat, telah menunjukan perbedaan yang sangat jauh dengan kebudayaan yang pernah terbangun di masa kenabian. Kita ambil salah satu contoh dari kalangan muda yang hidup di lingkungan lembaga pendidikan tepatnya di perguruan tinggi, sebagaimana digambarkan oleh Prof. AM Saefuddin ketika menerangkan budaya di kampus-kampus, “… mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara menampilkan status, prestise, dan kelas ketimbang mengejar pengetahuan.” Sekelas akademisi saja, budaya yang berkembang di tengah mereka sudah seperti demikian, entah seperti apa budaya yang berkembang di luar itu. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bagaimana ruang-ruang kampus telah berbaur dengan budaya populis dan pengutamaan gaya hidup.

Budaya hidup seperti ini hanya akan melanggengkan pola hidup yang konsemeris dan materialis. Budaya konsumeris, mampu membuat suatu komunitas manusia ‘hanyut’ ke dalam apa-apa yang ditawarkan kepadanya berupa tontonan, produk, kesenangan, dan gaya hidup. Biasanya, budaya konsumeris juga akan melemahkan suatu kelompok atau komunitas dari produktifitas dan kreatifitas. Sedangkan kita ketahui bersama, produktifitas dan kreatifitas merupakan nilai yang mendukung proses kemajuan.

Budaya materialis, berhasil menjauhkan generasi sekarang dari unsur-unsur spiritual serta menjadikannya tidak lebih penting dan berharga daripada nilai-nilai material. Jika hal ini terjadi, maka manusia cenderung akan berlomba untuk mencapai segala sesuatu yang sifatnya materi dengan mengabaikan aspek spiritual. Padahal, spiritualitas merupakan pertahanan penting bagi setiap manusia dalam menghadapi segala macam kompleksitas persoalan hidup. Makanya tidak aneh, ketika banyak manusia hari ini yang mengalami depresi bahkan disorientasi (kehilangan arah hidup).

Budaya seperti ini jelas hanya mementingkan keinginan dan kepuasan semata. Kecenderungan seperti itu tiada lain lahir daripada nafsu yang mendominasi kehidupan seorang manusia. Muhammad Qutb menerangkan bahwa, kebudayaan yang lahir dari nafsu, hanya akan membangun kehidupan jahiliyyah dan menjauhkan kita dari kehidupan yang terbangun dari nilai-nilai Islami.

Secara sederhana dapat kita pahami, bagaimana keterhanyutan sebagian besar kalangan muda dalam konsumerisme, telah menghambat berlangsungnya kebudayaan yang maju. Sedangkan segala hal yang menghambat kepada kemajuan, cenderung akan mengantarkan kepada kebodohan, kehinaan dan ketertinggalan.

Begitulah pertentangan antara kebudayaan Ilmu yang memperjuangkan kemajuan dan kebahagian hakiki bagi manusia berhadapan dengan kebudayaan nafsu yang mengantarkan manusia kepada kebinasaan. Gambaran ini mewakili pertentangan abadi antara haq dengan bathil.

Jiwa akan senantiasa menunjukan kecenderungan terhadap kebiasaan yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kebiasaan kita banyak berlangsung dalam pusaran budaya ilmiah, maka tetaplah istiqomah di jalan tersebut. Namun apabila kebiasaan kita banyak bergaul dengan kebudayaan nafsu, maka segera selamatkan diri sebelum tenggelam lebih dalam dan akhirnya hanya akan mengantarkan kepada kebinasaan.

No comments

Powered by Blogger.