Header Ads

Header ADS

Akibat Takdir

Oleh: Tuan Andanu

Senangsari. Kampung yang terletak diantara Desa dan kampung santri. Berbeda dengan filosofi namanya, kampung Senangsari, pada kenyataanya lebih banyak dihuni oleh orang belum baik. Alkoholic, sangat lumrah. Perjinahan, bukan ketidakbiasaan. Bahasa binatang, itu kebiasaan.

Kampung Senangsari mengajukan satu nama pemuda yang paling garang.  Si Anto namanya. Orang memanggilnya dengan lebih garang, si Sato. Riwayatnya begitu hitam. Sembari mabuk, ia mencuri, memukuli anak orang, dan uangnya digunakan untuk beli Narkoba. Setelah dikonsumsi, ia nyuri lagi, dan pernah sampai menggorok leher anak pak Fendi, pensiunan hansip Senangsari.

Si Sato ini, setelah menjinahi banyak perempuan, dari yang perawan sampai janda, anak kecil dan santri tetangga, ehh, ahirnya sampai juga di pelaminan. Orang-orang nyaris tidak percaya. Tapi Tuhan yang mengatur rencana. Tuhan menyandingkannya dengan perempuan yang bukan janda tapi sudah tidak perawan. Cocok.

Cocok yang pertama dalam hal cekcoknya. Cocok yang kedua dalam hitamnya. Mereka berjuang membangun dunia hitam dalam keluarga. Amukan, berbalas seimbang dengan cambukan. Apalagi di ranjang, syetan yang disambat, Tuhan malah disingkirkan cepat-cepat.

Hari-harinya adalah petaka bagi warga. Kalau matanya melotot, siap-siap saja murka. Celaka. Banyak orang membencinya, dan lebih banyak lagi yang jadi korbannya. Sebagian masih dendam, tidak sedikit yang sudah di kuburan. Si Sato, memang jelmaan hewan terbuas yang habitatnya salah alamat.

Hari-hari terus saja bergulir. Menggilir siang dan malam, menumpuk amalan-amalan. Yang belum baik dan yang belum jahat. Karena di rumus bumi, kebaikan adalah keburukan yang belum jadi. Sebaliknya, keburukan adalah buruk yang ahirnya jadi. Akanlah patut dipanen akibatnya. Sampah masyarakat itu gelarnya, hukum di dunia namanya penjara, dan akhirat menyebutnya neraka.

Si Sato, pada malam ke seribu telah memuncak. Ia buncahkan amarah terbesarnya. Tidak ada tetangga yang berani datang. Kaki kerasnya menendang perut sang istri yang tengah mengandung anak keduanya. Di tangan kiri, sebilah golok menyeringai tajam. Antara digorok atau dimutilasi, tidak ada siapa pun yang peduli. Sekedar menengarai, apalagi!

Istrinya terkapar di pojok kamar. Kasur kusam telah bersimbah darah. Langit memecutkan pekik halilintar. Hujan turun dengan sangat tiba-tiba, seperti sengaja hendak mengurung penganiayaan itu untuk mereka berdua. 

Aneh. Sato belum jadi menghabisi nyawa istrinya. Meski memar dan hidung patah telah ia akibatkan, tapi entah malaikat apa yang datang memeluk nuraninya. Ah masa iya ia masih memiliki nurani?

Duduk. Ia menggelosorkan kakinya dengan punggung merebah ke kursi reyot. berhembus tak karuan, dadanya naik turun tidak beraturan.

*
Tok... tok... tok.

Pintu kayu rumah itu berdecit didorong orang setelah ketukan ketiga. Siapa kiranya orang berani datang di kandang si Sato.

Ia, sepertinya dari genre yang sama. Tidak kalah garang. Sebut saja sebagaimana orang memanggilnya, "Bintrok". Ia pemuda dari kampung tetangga, kampung Tinja. Dalam banyak riwayat mereka berdua sama. Bedanya hanya satu. Si Sato pernah menggorok anak pensiunan hansip, si Bintrok pernah menusuk perut anak pak Dusun. Soalnya sepele. Menggorok dan menusuk adalah solusi.

Si Sato masih terkulai lemas. Barangtentu, marah memang selalu menyedot energi. Duduklah di sampingnya Si Bintrok. Kelepuusss... Ia mengepulkan asap rokok kretek. Nikmaatt...

Perlahan, pelan-pelan sekali. Mereka menikmati batang rokok.

"Jadi, bagaimana dengan istrimu, To...?" Si Bintrok mulai menyapanya dengan langsung ke pokok.

Ia belum aku matikan. Biar dia tahu rasa. Besok, carikan aku perempuan lain yang lebih baik. Biar janda, tak apa. Daripada hidup dengan pelacur bangsat ini! Anjing jalang!

"Sato.. Sato... Bagaimana kau ini. Cari janda, tapi ibu dari anakmu akan kau jandakan? Bodoh!"

Hening. Hujan masih mengguyur deras. Mereka tidak bersuara. Istri si Sato masih pingsan menunggu maut mengahiri kisah durjana. Si Sato dan Bintrok, bergantian mengepulkan asap rokok.

*
Dalam gundah itu, mata Si Sato meneteskan beberapa derai air,

"Trok, Aku sudah punya anak. Aku bosan dengan hidup sepeti ini! Aku ingin jadi bapak yang baik untuk anakku. Aku..."

BUKKK!!!

Si Sato terkapar. Kepala belakangnya pecah. Tersungkurlah ia ke lantai tanpa keramik itu. Beberapa saat, nafasnya masih berhembus, lalu memelan, memelan, dan raib. Ruhnya melayang ke alam antah barantah...

Alhamdulillah... Selamat beristirahat, kawan.

Si Bintrok memandangi tubuh kawannya yang terkapar dengan darah bersimbah. Sementara di tangan kanannya masih tergenggam sesungga kayu keras dan kaku.

"Engkau telah pulang sebagai hamba-Nya". 

Si Bintrok mengelap darah. Mengepelnya dengan tenang. 

Malam itu, Senangsari telah kembali pada kandungan nama filosofisnya. Si Bintrok, lalu terbang dengan sayapnya yang tetiba menumbuh dari punggungnya. Ia terbang menembus guyuran hujan. Lalu merubah mukanya sebagai si Sato. Ia terbang ke kampung Tinja, bersiap menemui Si Bintrok yang (juga) tengah cekcok.

*
Pembunuhan terbaik adalah sikap perkawanan sejati.

No comments

Powered by Blogger.