Header Ads

Header ADS

BEBAASSSSS !!!

Oleh: Tuan Andanu
Dicatat di tengah kepungan anak Milenial-19

Liminho, begitu saja menulisnya. Tokoh kenamaan dari negeri koreo tanpa grafi. Siapa tak kenal, kemungkinan besar terasing dari pasar milenial. Atau tokoh Eexo, Kai, Suho, dan, aahhh... Mungkin Mang Uho.

Ujang Odoy dari kampung Manasuka, oh sudah pasti mengenali, mengagumi, dan barang tentu meneladani. Liminho dan atau sejenisnya, adalah matahari penerang yang dirindukan anak muda dari klan kekinian. Liminho adalah sosok panutan Odoy si anak kampung yang kekorea-koreaan.

Ujang Odoy rumahnya setengah tembok. Ia lahir dari Bapak Odo dan Ibu Ooy. Inspirasi gabungan dari nama ayah dan ibunya itulah, maka ia resmi dinamai Odoy.

Di sekolah Sukamana, Odoy gemulai menari, dan juga jago bernyayi. Meski suaranya agak sedikit unik, tapi teman-temannya banyak yang tertarik. Si Odoy menginisiasi komunitas K-POP Sukamana. Diantara yang bergabung ada si Engkos anaknya pak Enceng, dan Neng Cica puteranya Ibu Ipeh. Setiap hari, selain jam istirahat, bahkan setelah sekolah, mereka membuka kursus tari dan nyanyi secara terbuka. Open Recruitmen dilakukan di gardu yang berdampingan dengan sekolah dan bersebarangan dengan penjual cebong hitam. Bila ada anggota baru yang bergabung, ia pasti dibonusi pin manual bergambarkan Liminho Sukamana.

Gegar. Masyarakat kampung Manasuka mulai rame dengan gaya anak-anak SD tersebut. Baju-baju mereka bukan lagi kaos oblong pekampungan. Wih, malah wajah mereka berkaca hitam dengan bentuk yang variatif dan unik. Rambutnya, waw... Pelangi bung.. Merah muda dan biru... Hihi...

Kalau saja mereka lewat, pasti ada nyanyian Korea dengan suara khas kampung. Apalagi bila jalan di galengan sawah, gemulai sekali ketika mereka menari sembari berputar ibarat gansing. Hihi... Meski tak sedikit, ada sajalah sehari sekali yang kejebrus ke sawah.

"Itu perjuangan." Kata Odoy sang Founther.

Tak tanggung, mereka menyepakati adanya iuran wajib untuk biaya wifi agar bisa mengakses langsung penyanyi-penyanyi Korea. Perbulan mereka berkumpul di Gardu, markas komunitas K-POP Sukamana. Mereka bernyanyi, menari, dan bergaya Korea.

Orang-orang tua, mana bisa mencegah. Toh mereka sudah dijejali pembenaran dari dunia terbalik. Kalau tak mengikuti gaya anak-anaknya, mereka hawatir tidak diakui sebagai orang tua.

Mulanya Korea, lalu mengakses Jepang, dan berujung di Meksiko. Ya, kini milenial sudah mampu menembus belahan dunia dari berbagai negara. Tidak ada lagi sekat pembatas. Bahkan aturan sekolah, dan termasuk tata-titi norma bangsa, hanya menjadi titik mikro yang kuno bila masih dipegang.

Hehe... Kini milenial telah menciptakan kejatian dirinya sendiri. Mereka tidak mau diperbudak naskah kuno yang dijejalkan di pelajaran sejarah sekolah. Tak peduli Hatta, yang penting Korea. Tak peduli Bung Karno, yang penting Liminho. Peduli amat dengan Hamka yang penting Genzi (Aricahara).

Soal latar agama apa, usang nian dibahas-bahas. No! ini tentang era baru. Era milenial yang sangat maju.

Bu Guru dan pak Guru, ya jadinya harus menjogeti perkembangan. Di samping menghapal tari daerah, mereka pun harus belajar tari gangsing negeri asing.

Imperialisme? Apaan. Ini postmodernisme.

Siaaappp! Anak-anak kampung telah maju. Saking majunya, mungkin mereka lupa banyak kepribadian bangsa yang dihilangkan. Peduli amat! Bodo amat! Bodoooo amaaaatttt... (Ngaku juga).

Entah harus pake bahasa apa, anak singkong dan ubi, di perkampungan terpencil, yang lahirnya dari Odos dan Ooy, Enceng dan Ipeh, anaknya bergaya Liminho. Aduh... 

Tapi itu fakta. Terjadi dimana-mana. Fenomonologi anyar yang harus disisir sebab dan alasannya. Silahkan didalami agar lumayan dapat ilham teori terkini. Bikin saja sekarang! katakan pada dunia bahwa pribahasa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" sudah kadaluwarsa dan jangan lagi diungkit. Dan mari kita cepat-cepat ganti, Buah jatuh tak pasti pohonnya. 

"Anak lahir tak tentu bapaknya". Waduh...

Milenial! Bila berdangdut, anak-anak berkoplo ria, "Abang pilih yang mana, perawan atau janda..." Eaaahhhh... !!!!

Gitu ya, lagu asli pribumi? Apa beda dengan invasi budaya lagu asing, aseng, asong? Beuhhhh.... Parah. Ngik!

"Minum susu  makannya kacang, enak susunya, mamamama..." Heuheu...

Sudah dulu ah. Ibu dan bapak milenial kampung bukan lagi si Ibi dan si Amang, bukan Si Euceu dan si Aa, melainkan anak ciptaan produk teknologi yang bebasnya membabat batas dan tidak berbatas. Gass...! Kita wajib bebas!

Guys, Gue yang ngelakuin, kok elo yang sewot? Harr ah... Tancap terus...

*
Demikianlah babak anyar jaman kita. Ialah jaman dimana anak-anak lahir tak kenal bapak dan ibunya. Ialah jaman dimana kepribumian dipandang ketinggalan jaman. Dan ialah ketika jaman tanpa budaya pikiran, justru dipandang solusi keenjlimetan kehidupan.

Bila Mahasiswanya memenuhi panggung dengan tontonan Korea dan Jepangnya, adegan plus-plus di WC kampus dan kossannya, wah... jangan heran bila pasti kalah pamor di beberapa tahun ke depannya.

Kata Tuan Andanu, kita masih setia dengan kekalahan. Inilah yang disebutnya sebagai bangsa inlander pemburu kehder linger. 

"Bangsa kita masih keukeuh Genetik abadi imperialistik!" Tegas Andanu yang pikirannya sudah tak laku.

Kuno memang. Karena kita pun tidak luput dari situasi modern dimana prinsip hidup para aktivis dan generasi muda bukan lagi segunung pahit getir perjalan hidup, atau penelusuran dari referensi kitab bacaan yang berjilid-jilid. 

"Oh tidak, kita tidak hidup di jaman itu. Sialnya, kita justeru hidup di tengah manusia yang mendasarkan prinsip hidupnya dari beberapa kalimat Quotes jiplakan, dan kata mutiara saduran dari hasil curian orang."

*
"Wooouuyyy... Le min ho itu tokoh drama Korea. Bukan K-POP!" Teriak Odoy kalap.

"Ehhh... Terserah Gue dong. Ini milenial. Bebas gimana gue dong. Kenapa Eloe yang sewot?! HEELLLOOOWWW...!!!"

Ajig Kasallll....

No comments

Powered by Blogger.